"Aku benar-benar berharap kamu mati sehingga tidak ada lagi harapan
dihatiku untuk memilikimu. Bagiku itu lebih baik daripada melihatmu
hidup tapi tak bisa kumiliki. Kau tahu, rasa cintaku membuatku bersedia
mati untukmu. Tapi aku tak mau mati sendiri. Jika cinta ini menuntutku
untuk mati, maka aku ingin kita mati bersama. Ini memang terdengar
egois, tapi aku tak ingin menjadi korban. Tidak bisa kubayangkan aku
mati dengan cinta sementara kamu tetap hidup dan melupakanku.."
Tia, gadis cantik itu membaca sms panjang tersebut. Ia menggeleng berulang kali. 'Dia pasti sudah gila' batinnya sambil menatap wajah Panjul yang mendadak muncul dibenaknya. Wajah yang aneh, sedang tersenyum padanya. Tia bergidik. Tiba-tiba jarinya bergerak diatas tuts handphonenya.
"Singkat saja, apa yang kamu inginkan?"
Tia menunggu. Lima belas menit kemudian handphonenya belum juga berdering. Ia mulai kesal. 'Dasar sinting' batinnya. Baru saja ia hendak beranjak namun tiba-tiba handphonenya mendadak bergetar.
"Kamu"
Tia mengerutkan kening. Cuma satu kata, Kamu. Ia berfikir sejenak. Kemudian jarinya kembali mengetik.
"Kalau kamu masih menginginkanku, lantas kenapa dulu kamu tidak pernah memperhatikanku?" Balasnya.
Tia kembali menunggu. Hatinya berdegup kencang. Ia tidak bisa membayangkan dirinya kembali ke Panjul. Sudah hampir sebulan Mereka putus. Selama ini Tia bahkan tidak pernah berfikir untuk kembali. Ia sudah terlalu muak. 'Apa artinya punya cowo kalau tidak pernah diperhatikan?' Batinnya.
Tiba-tiba Hp-nya bergetar. Kali ini bukan sms, tapi ada telpon masuk. Ia bimbang.
"Kamu harus memberiku kesempatan lagi" ujar Panjul begitu Tia mengangkat telpon. Tia mengerutkan kening. Sesaat suasana jadi hening, masing-masing menunggu.
"Tia, please... seumur hidup belum pernah aku memohon dan menghinakan diri seperti ini. Tidak apa jika rasa cintaku padamu menjadikan aku seperti sampah dimatamu. Aku hanya ingin kembali dan membenahi apa yang telah kurusak"
Tia masih diam
"Tia...."
"Panjul..." potong Tia, Ia menghela nafas sebelum melanjutkan, "pintu yang telah kututup tidak mungkin kubuka kembali"
"Kenapa tidak mungkin?" Sahut Panjul cemas.
"Karena diruang itu sudah ada orang lain." Sahut Tia bergetar.
"Jadi sudah ada orang lain," sahut Panjul tak kalah bergetar, "kalau begitu lebih baik aku mati. Klik!"
"Panjul.. Tunggu.. " sahut Tia.
Tapi telpon telah terputus. Wajahnya mendadak pucat. 'Bagaimana jika ia benar-benar....' Tia bergidik ngeri. Jantungnya seperti berhenti ketika Hp-nya kembali bergetar. Sebuah sms.
"Aku hanya ingin memberitahumu apa yang tidak kuberitahu selama ini. Aku tidak memperhatikanmu karena perhatianku pada ibuku. Sudah enam bulan beliau stroke dan kamu tahu aku satu-satunya anak lelaki yang masih tinggal dirumah. Tapi bahkan kamu tidak pernah bertanya tentang keadaan ibuku. Keinginanmu untuk diperhatikan telah membuatmu lupa untuk memperhatikan. Kini ibuku telah tiada, kamu bahkan tidak tahu itukan? Aku fikir, sekarang aku bisa memberikan perhatianku padamu. Tapi pintu telah tertutup dan seseorang telah mengisi apa yang kutinggalkan..."
Tia terhenyak. Benarkah ibunya stroke dan kini telah meninggal. Kenapa ia tidak diberi tahu, batinnya. Tapi, bukankah ia memang tidak pernah bertanya? Tiba-tiba dadanya terasa sesak...
Tia, gadis cantik itu membaca sms panjang tersebut. Ia menggeleng berulang kali. 'Dia pasti sudah gila' batinnya sambil menatap wajah Panjul yang mendadak muncul dibenaknya. Wajah yang aneh, sedang tersenyum padanya. Tia bergidik. Tiba-tiba jarinya bergerak diatas tuts handphonenya.
"Singkat saja, apa yang kamu inginkan?"
Tia menunggu. Lima belas menit kemudian handphonenya belum juga berdering. Ia mulai kesal. 'Dasar sinting' batinnya. Baru saja ia hendak beranjak namun tiba-tiba handphonenya mendadak bergetar.
"Kamu"
Tia mengerutkan kening. Cuma satu kata, Kamu. Ia berfikir sejenak. Kemudian jarinya kembali mengetik.
"Kalau kamu masih menginginkanku, lantas kenapa dulu kamu tidak pernah memperhatikanku?" Balasnya.
Tia kembali menunggu. Hatinya berdegup kencang. Ia tidak bisa membayangkan dirinya kembali ke Panjul. Sudah hampir sebulan Mereka putus. Selama ini Tia bahkan tidak pernah berfikir untuk kembali. Ia sudah terlalu muak. 'Apa artinya punya cowo kalau tidak pernah diperhatikan?' Batinnya.
Tiba-tiba Hp-nya bergetar. Kali ini bukan sms, tapi ada telpon masuk. Ia bimbang.
"Kamu harus memberiku kesempatan lagi" ujar Panjul begitu Tia mengangkat telpon. Tia mengerutkan kening. Sesaat suasana jadi hening, masing-masing menunggu.
"Tia, please... seumur hidup belum pernah aku memohon dan menghinakan diri seperti ini. Tidak apa jika rasa cintaku padamu menjadikan aku seperti sampah dimatamu. Aku hanya ingin kembali dan membenahi apa yang telah kurusak"
Tia masih diam
"Tia...."
"Panjul..." potong Tia, Ia menghela nafas sebelum melanjutkan, "pintu yang telah kututup tidak mungkin kubuka kembali"
"Kenapa tidak mungkin?" Sahut Panjul cemas.
"Karena diruang itu sudah ada orang lain." Sahut Tia bergetar.
"Jadi sudah ada orang lain," sahut Panjul tak kalah bergetar, "kalau begitu lebih baik aku mati. Klik!"
"Panjul.. Tunggu.. " sahut Tia.
Tapi telpon telah terputus. Wajahnya mendadak pucat. 'Bagaimana jika ia benar-benar....' Tia bergidik ngeri. Jantungnya seperti berhenti ketika Hp-nya kembali bergetar. Sebuah sms.
"Aku hanya ingin memberitahumu apa yang tidak kuberitahu selama ini. Aku tidak memperhatikanmu karena perhatianku pada ibuku. Sudah enam bulan beliau stroke dan kamu tahu aku satu-satunya anak lelaki yang masih tinggal dirumah. Tapi bahkan kamu tidak pernah bertanya tentang keadaan ibuku. Keinginanmu untuk diperhatikan telah membuatmu lupa untuk memperhatikan. Kini ibuku telah tiada, kamu bahkan tidak tahu itukan? Aku fikir, sekarang aku bisa memberikan perhatianku padamu. Tapi pintu telah tertutup dan seseorang telah mengisi apa yang kutinggalkan..."
Tia terhenyak. Benarkah ibunya stroke dan kini telah meninggal. Kenapa ia tidak diberi tahu, batinnya. Tapi, bukankah ia memang tidak pernah bertanya? Tiba-tiba dadanya terasa sesak...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar