Valentine tahun lalu kau berikan aku bunga plastik. Katamu, "bunga ini memag tidak seindah bunga asli, aromanya pub tidak harum. Tapi bunga ini tidak akan pernah layu, seperti juga cintaku padamu"
Saat itu wajahku bersemu merah. Aku tahu aku tersipu. Tapi aku juga tahu betapa konyolnya kamu sebab bunga plastik itu memang tidak pernah layu, tapi untuk apa aku simpan bunga plastik itu jika keindahannya terasa palsu? Cintamu memang tidak pernah layu seperti katamu, sebab cinta itu memang tidak pernah benar-benar tumbuh didadamu. Cintamu seperti bunga plastik yang kau berikan padaku itu, terasa palsu.
Dan hari ini kau kirimi aku sepucuk kartu valentine. Di dalamnya kau tulis sebait puisi. Tidak kusangka ternyata kaupun bisa berperan sebagai pujangga, begitu manis dan romantis. Kalau saja aku seorang sastrawan pastilah kau kupuji-puji. Tapi aku adalah seorang pecinta yang tahu pasti bahwa antara kata dan cinta ada jarak yang teramat lebar. Kata bukanlah cinta dan cinta tidak mungkin bisa kau jelmakan dalam kata. Aku menemukan cinta dalam bait puisimu, tapi tidak kutemukan cinta dimatamu. Yang kau tulis hanya khayalmu, bukan isi hatimu karena tak kurasakan getaran cinta dalam bait puisimu. Kamu cuma ngegombal.
Senja tadi kamu pun berkali-kali kirim sms padaku. Kau berjanji akan menjagaku dan melindungiku. Gombal, balasku. Kaupikir umurmu lebih panjang dariku? Bagaimana jika kau mati duluan? Siapa yang akan menjaga dan melindungiku? Kau menjanjikan sesuatu yang kau sendiri tahu betapa mustahil untuk menepatinya.
Malamnya kau sms lagi. Katamu kau selalu menyertakan namaku dalam setiap doa-doamu. Aku terhenyak, apa yang kau pinta pada Tuhan? Agar aku jadi jodohmu atau agar aku tak menikah dengan siapapun kecuali denganmu? Asal kau tahu, seandainya suatu pagi nanti aku terbangun dan kudapati diriku telah mencintaimu itu bukan karena aku memang benar-benar mencintaimu, tapi karena ketidak sanggupanku menolak ketentuan Tuhan yang memberikanku rasa cinta akibat doa-doamu.
Kupejamkan mataku. Kulihat kebencian itu masih ada. Mustahil kau membuka pintu dengan kunci yang pernah kau patahkan. Mustahil kau cairkan gunung es dengan cahaya lilin yang kau bawa. Walau beribu puisi yang kau kirim setiap pagi, walau seribu valentine kau lewati, sebab kebencian itu telah membuatku membatu.
"Hey, kenapa kau masih berfikir tentang cinta, kenapa masih terbesit bunga-bunga dan kartu valentine dibenakmu sedang kemarin kau lihat saudara-saudara dan teman-temanmu terbujur kaku dan mulai membusuk di Aceh sana. Kenapa kau masih bisa bersenandung cinta sementara dilayar teve kau saksikan ratusan ribu orang dikubur dalam satu lobang tanpa kafan. Kenapa kau isi hatimu dengan kebencianmu pada kekasih sementara adik-adikmu diujung Sumatera sana menanti uluran cintamu?"
Aku terhenyak. Aku tahu suara itu. Suara... ya Tuhan! Kulihat dadaku terbuka kulitnya terkelupas dan dibalik jari-jari tulang rusuk itu kulihat hatiku berbicara seperti sepasang bibir.
"Kepada siapa kartu valentine itu akan kau kirimkan? Kepada siapa bunga-bunga indah itu akan kau berikan? Jangan kau berbicara tentang cinta, jangan kau sebut-sebut kasih sayang jika yang kau saksikan di Aceh sana tak membuat jiwamu bergetar..."
Segera kuhapus nama yang tadi kutulis dikartu valentine. Lama kutatap kartu itu hingga perlahan jemariku mulai menulis, Dear Aceh...
Saat itu wajahku bersemu merah. Aku tahu aku tersipu. Tapi aku juga tahu betapa konyolnya kamu sebab bunga plastik itu memang tidak pernah layu, tapi untuk apa aku simpan bunga plastik itu jika keindahannya terasa palsu? Cintamu memang tidak pernah layu seperti katamu, sebab cinta itu memang tidak pernah benar-benar tumbuh didadamu. Cintamu seperti bunga plastik yang kau berikan padaku itu, terasa palsu.
Dan hari ini kau kirimi aku sepucuk kartu valentine. Di dalamnya kau tulis sebait puisi. Tidak kusangka ternyata kaupun bisa berperan sebagai pujangga, begitu manis dan romantis. Kalau saja aku seorang sastrawan pastilah kau kupuji-puji. Tapi aku adalah seorang pecinta yang tahu pasti bahwa antara kata dan cinta ada jarak yang teramat lebar. Kata bukanlah cinta dan cinta tidak mungkin bisa kau jelmakan dalam kata. Aku menemukan cinta dalam bait puisimu, tapi tidak kutemukan cinta dimatamu. Yang kau tulis hanya khayalmu, bukan isi hatimu karena tak kurasakan getaran cinta dalam bait puisimu. Kamu cuma ngegombal.
Senja tadi kamu pun berkali-kali kirim sms padaku. Kau berjanji akan menjagaku dan melindungiku. Gombal, balasku. Kaupikir umurmu lebih panjang dariku? Bagaimana jika kau mati duluan? Siapa yang akan menjaga dan melindungiku? Kau menjanjikan sesuatu yang kau sendiri tahu betapa mustahil untuk menepatinya.
Malamnya kau sms lagi. Katamu kau selalu menyertakan namaku dalam setiap doa-doamu. Aku terhenyak, apa yang kau pinta pada Tuhan? Agar aku jadi jodohmu atau agar aku tak menikah dengan siapapun kecuali denganmu? Asal kau tahu, seandainya suatu pagi nanti aku terbangun dan kudapati diriku telah mencintaimu itu bukan karena aku memang benar-benar mencintaimu, tapi karena ketidak sanggupanku menolak ketentuan Tuhan yang memberikanku rasa cinta akibat doa-doamu.
Kupejamkan mataku. Kulihat kebencian itu masih ada. Mustahil kau membuka pintu dengan kunci yang pernah kau patahkan. Mustahil kau cairkan gunung es dengan cahaya lilin yang kau bawa. Walau beribu puisi yang kau kirim setiap pagi, walau seribu valentine kau lewati, sebab kebencian itu telah membuatku membatu.
"Hey, kenapa kau masih berfikir tentang cinta, kenapa masih terbesit bunga-bunga dan kartu valentine dibenakmu sedang kemarin kau lihat saudara-saudara dan teman-temanmu terbujur kaku dan mulai membusuk di Aceh sana. Kenapa kau masih bisa bersenandung cinta sementara dilayar teve kau saksikan ratusan ribu orang dikubur dalam satu lobang tanpa kafan. Kenapa kau isi hatimu dengan kebencianmu pada kekasih sementara adik-adikmu diujung Sumatera sana menanti uluran cintamu?"
Aku terhenyak. Aku tahu suara itu. Suara... ya Tuhan! Kulihat dadaku terbuka kulitnya terkelupas dan dibalik jari-jari tulang rusuk itu kulihat hatiku berbicara seperti sepasang bibir.
"Kepada siapa kartu valentine itu akan kau kirimkan? Kepada siapa bunga-bunga indah itu akan kau berikan? Jangan kau berbicara tentang cinta, jangan kau sebut-sebut kasih sayang jika yang kau saksikan di Aceh sana tak membuat jiwamu bergetar..."
Segera kuhapus nama yang tadi kutulis dikartu valentine. Lama kutatap kartu itu hingga perlahan jemariku mulai menulis, Dear Aceh...